Senin, 24 November 2008

Tarian Legenda Asal Usul Suku Asmat




November 14th, 2008

SURABAYA - Bertahtakan mahkota bulu-bulu burung Kasuari, pria dengan wajah corang-coreng cat memainkan tifa. Ketika bunyi tabuhannya semakin keras, muncullah tiga pria lain dengan kostum serupa. Keempat pria tersebut lantas menari dengan iringan musik rancak khas Papua.

Cuplikan adegan pertunjukan tari tersebut merupakan perwujudan legenda asal usul suku Asmat di Papua. Legenda tersebut diwujudkan dengan apik lewat karya Darlane Litaay bertajuk MBIS dalam Festival Cak Durasim (FCD) 2008 di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur tadi malam (13/11).

Menurut sebuah versi, suku Asmat berasal dari seorang dewa bernama Fumeripits. Karena bosan hidup sendirian, dewa tersebut menciptakan patung-patung berbentuk manusia dari kayu. Tidak hanya membuat patung, dia juga menciptakan sebuah alat musik dari kayu yang dinamakan tifa. Ketika alat musik tersebut dipukul keras-keras, patung-patung manusia itu pun hidup.

Adegan dewa Fumeripits yang tengah memukul tifa tersebut diperankan dengan baik oleh sang penata tari, Darlane. Lewat gerak tari yang menggambarkan satu adegan magis, Darlane menggerakkan tubuhnya dengan lincah.

Legenda tersebut memang tidak disajikan lewat sejumlah adegan. Empat penari termasuk Darlane lebih memilih menyuguhkan legenda tersebut lewat simbol-simbol yang diwujudkan dalam gerak dan musik.

Dalam balutan kostum yang terdiri dari mahkota yang terbuat dari bulu burung kasuari, kakaktua dan cenderawasih, rumput atau alang-alang yang dikreasikan menjadi rok serta tidak lupa kalung dengan bandul taring babi, para penari bergerak membentuk berbagai formasi. Salah satunya formasi berjajar di lantai, di mana mereka menari dalam posisi telentang menyamping di lantai. Dalam posisi tersebut, keempatnya membentuk formasi yang mirip dengan patung jika dilihat dari depan.

”Itu salah satu bentuk simbolisasi berupa patung manusia dari kayu,” jelas pria 24 tahun itu.

Keunikan tidak hanya terletak pada kostum, gerak tari ataupun musiknya. Dalam pertunjukan tari kontemporer tersebut, Darlane sempat menyisipkan beberapa gerakan patah-patah khas hip hop. “Saya memang ingin memadukan beberapa unsur dalam karya saya yang merupakan perpaduan tari tradisional dan kontemporer,” tutur pria kelahiran 7 Agustus 1984 itu.

Selain pertunjukan tari MBIS, FCD juga menampilkan tari Gambar Cahaya karya koreografer Shinta Yuniar Utami asal Surabaya, dan tari 115-on Click karya Nungki Nurcahyani dari Solo.

Malam ini, giliran Hamzah Fansuri (Surabaya) akan menampilkan karya monolog Arthur S. Nalan bertajuk Prodo Imitatio. Selain itu juga akan tampil Lanjong Kutai Kertanegara dan penampilan dari Taman Budaya Samarinda, Kaltim

Pesta Asmat Diisi dengan Karnaval


Agats, Kompas - Pesta Budaya Asmat 2006, Jumat (6/10) sore, diisi dengan karnaval para pengukir yang berkeliling kota Agats. Sebelumnya, 321 peserta mengikuti upacara pembukaan di Lapangan Yos Sudarso, Agats, dipimpin Uskup Asmat, Mgr Aloysius Murwito OSC.

Setelah mendapat pemberkatan dari Uskup Asmat, 321 peserta Pesta Budaya Asmat dari enam distrik di Kabupaten Asmat berkeliling kota. Setelah berkeliling, para pengukir menaruh ukirannya di Lapangan Yos Sudarso untuk dinilai dan ditentukan pemenangnya.

Setiap karya akan dinilai berdasarkan enam kategori lomba. Keenam kategori lomba itu adalah patung ukuran besar, patung ukuran sedang, patung ukuran kecil, panel, ukiran tradisional seperti bis (patung tiang manusia), tifa (alat musik tetabuhan yang dihiasi ukiran) dan salawaku (perisai). Juara dari masing-masing kategori akan dijadikan koleksi Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat.

Penggagas Pesta Budaya Asmat, Mgr Emeritus Alphonse Sowada OSC, menjelaskan bahwa sejak pesta budaya digelar pada tahun 1981, ukiran terbaik selalu ditetapkan menjadi koleksi Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat. Menurut dia, hal tersebut dilakukan agar generasi muda Asmat dapat menemukan jejak seni ukiran Asmat yang telah menjadi koleksi berbagai museum besar di dunia.

687 koleksi

Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat didirikan oleh Keuskupan Asmat pada tahun 1973, pada saat Sowada menjadi Uskup Asmat. Saat ini koleksi museum tersebut telah mencapai 687 buah, berupa patung, perisai, tifa, puputan, pinggan, haluan perahu lesung, dayung, tombak, pipa tembakau, tengkorak, busana roh, hiasan dan perkakas badan, serta busur dan anak panah.

Menurut Sowada, Pesta Budaya Asmat digelar pertama kali ketika anak adat Asmat mulai meninggalkan budayanya.

"Di satu sisi, (perkembangan peradaban membuat mereka berhenti berperang) karena berhenti berperang, anak adat Asmat tidak lagi memandang perisai sebagai sesuatu yang penting. Masuknya budaya asing juga membuat anak Asmat melupakan (perkakas) adat karena mereka memakai piring. Saat itu budaya Asmat nyaris ditinggalkan," ungkapnya menjelaskan.

Padahal, kata Sowada, ukiran Asmat itu sangat indah.