Senin, 24 November 2008

Pesta Asmat Diisi dengan Karnaval


Agats, Kompas - Pesta Budaya Asmat 2006, Jumat (6/10) sore, diisi dengan karnaval para pengukir yang berkeliling kota Agats. Sebelumnya, 321 peserta mengikuti upacara pembukaan di Lapangan Yos Sudarso, Agats, dipimpin Uskup Asmat, Mgr Aloysius Murwito OSC.

Setelah mendapat pemberkatan dari Uskup Asmat, 321 peserta Pesta Budaya Asmat dari enam distrik di Kabupaten Asmat berkeliling kota. Setelah berkeliling, para pengukir menaruh ukirannya di Lapangan Yos Sudarso untuk dinilai dan ditentukan pemenangnya.

Setiap karya akan dinilai berdasarkan enam kategori lomba. Keenam kategori lomba itu adalah patung ukuran besar, patung ukuran sedang, patung ukuran kecil, panel, ukiran tradisional seperti bis (patung tiang manusia), tifa (alat musik tetabuhan yang dihiasi ukiran) dan salawaku (perisai). Juara dari masing-masing kategori akan dijadikan koleksi Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat.

Penggagas Pesta Budaya Asmat, Mgr Emeritus Alphonse Sowada OSC, menjelaskan bahwa sejak pesta budaya digelar pada tahun 1981, ukiran terbaik selalu ditetapkan menjadi koleksi Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat. Menurut dia, hal tersebut dilakukan agar generasi muda Asmat dapat menemukan jejak seni ukiran Asmat yang telah menjadi koleksi berbagai museum besar di dunia.

687 koleksi

Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat didirikan oleh Keuskupan Asmat pada tahun 1973, pada saat Sowada menjadi Uskup Asmat. Saat ini koleksi museum tersebut telah mencapai 687 buah, berupa patung, perisai, tifa, puputan, pinggan, haluan perahu lesung, dayung, tombak, pipa tembakau, tengkorak, busana roh, hiasan dan perkakas badan, serta busur dan anak panah.

Menurut Sowada, Pesta Budaya Asmat digelar pertama kali ketika anak adat Asmat mulai meninggalkan budayanya.

"Di satu sisi, (perkembangan peradaban membuat mereka berhenti berperang) karena berhenti berperang, anak adat Asmat tidak lagi memandang perisai sebagai sesuatu yang penting. Masuknya budaya asing juga membuat anak Asmat melupakan (perkakas) adat karena mereka memakai piring. Saat itu budaya Asmat nyaris ditinggalkan," ungkapnya menjelaskan.

Padahal, kata Sowada, ukiran Asmat itu sangat indah.

Tidak ada komentar: